Mendorong
Peran Pemerintah dan Stakeholder Terkait dalam Membangun Kemitraan yang Adil
dengan Petani
Pertanian sangat diharapkan dapat menampung angkatan kerja yang
kian bertambah setiap tahunnya sebab hingga kini pertanian masih menjadi
penyerap tenagakerja tertinggi di Indonesia. Pertanian diharapkan mampu meningkatkan penghasilan petani dan
masyarakat secara merata, sehingga
petani harus didukung dan didorong oleh berbagai pihak agar tetap dapat
menjalankan roda perekonomian. Salah satunya adalah dukungan dan dorongan
peran-peran yang bekerjasama dengan petani dalam hal kemitraan. Kemitraan
adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam
jangka waktu tertentu untuk merauk keuntungan bersama dengan prinsip saling
membutuhkan dan saling membesarkan (Hafsah, 2000). Sedangkan berdasarkan SK
Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian,
menyebutkan bahwa kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama usaha antara
perusahaan mitra dan kelompok mitra dibidang usaha pertanian. Adapun tujuan
yang ingin dicapai kemitraan adalah :
1.
Meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat;
2.
Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan;
3.
Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil;
4.
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional;
5.
Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional
Dari tujuan-tujuan tersebut, maka prinsip kemitraan dapat
didasarkan atas saling memperkuat dan membesarkan. Seperti yang tercantum dalam
Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang
kemitraan menyebutkan sebagai berikut :
“Kerjasama
usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai
pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha
besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan
saling menguntungkan”.
Namun, benarkah kemitraan pertanian sesuai dengan ketentuan
tersebut? Benarkah petani mendapat share
yang adil atas kemitraan? keterbatasan modal dan posisi perusahaan pengelola
yang lebih kuat baik dari aspek pemilikan modal, manajemen, teknologi dan
sumber daya manusia yang cukup tersedia, hal inilah yang menyebabka posisi
petani yang sangat lemah jika berhadapan dengan perusahaan pengelola. Salah
satu akibat yang dapat ditimbulkan oleh keadaan yang tidak seimbang tersebut adalah
adanya pihak yang akan mendominasi terhadap jalannya hubungan kemitraan
tersebut. Pihak yang dominan biasanya akan berusaha untuk memaksakan
kehendaknya untuk diterima oleh pihak yang lemah. Acap kali petani tidak
atau mendapatkan pembinaan dan pembimbingan
bahkan cenderung dijadikan target pasar.
Ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha
Kecil, menyebutkan :“Hubungan kemitraan dituangkan dalam bentuk
perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur bentuk dan lingkup kegiatan
usaha kemitraan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, bentuk pembinaan dan
pengembangan serta jangka waktu dan penyelesaian perselisihan”. Kemudian
permasalahan juga sering timbul dalam perjanjian tertulis ini. Sering kali
petani tidak diikut sertakan dalam pembuatan perjanjian. Petani hanya menerima
perjanjian yang telah dibuat oleh perusahaan pengelola dan hanya diminta untuk
menandatangani perjanjian yang telah dibuat tersebut. Jika memiliki kesempatan
untuk mengoreksi, hanya akan sebatas poin perjanjian yang telah dibuat
pengelola perusahaan, artinya kesempatan petani untuk membuat poin perjanjian
sangat minim. Padahal tertera dalam ketentuan pasal 26 ayat 4 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1995 berbunyi : “Dalam
melakukan hubungan kemitraankedua belah pihak mempunyai kedudukan hukum yang
setara”. Tidak ada perbedaan antara pihak yang bermitra, namun karena
petani yang tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasan
dalam menentukan isi perjanjian baku ini yang dimanfaatkan oleh oknum mitra
untuk merauk keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan posisi petani.
Baik disebabkan karena petani mempunyai kedudukan yang lemah di bidang ekonomi,
maupun karena ketidaktahuannya, sehingga petani hanya dapat menerima atau
menolak isi perjanjian secara utuh atau keseluruhan.
Pada hakekatnya, adanya ketentuan-ketentuan dalam pasal dan
ketetapan tersebut di atas adalah sebagai pengendalian dalam upaya penyalahgunaan
posisi dominan dari salah satu pihak. Pemerintahpun telah membuat solusi
pemecahan permasalahan kemitraan pertanian yang dituangkan dalam Keputusan
Menteri Pertaian No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha
Pertanian terutama pada BAB IV pasal 15 yang membahas tentang Pembinaan dan
Pengembangan yaitu :
“(1)
Untuk pemecahan masalah kemitraan usaha dapat dibentuk Forum Komunikasi
Agribisnis yang terdiri atas unsur-unsur aparat Pembina teknis, perusahaan
mitra, dan kelompok mitra. (2) Forum Komunikasi Agribisnis sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat dibentuk pada setiap tingkatan yaitu di tingkat pusat,
Propinsi, dan Kabupaten dengan masing-masing sekretariat berada di Bidang
Agribisnis, Kantor Wilayah Departemen Pertanian dan Dinas Lingkup Pertanian”
Pada ketetapan ini telah
dijelaskan bahwasanya adanya imbauan untuk membentuk Forum Komunikasi
Agribisnis sebagai sarana mengkomunikasikan persoalan-persoalan yang timbul
dalam kemitraan pertanian. Kemudian pada BAB V pasal 17 dan pasal 18 tentang Pengawasan
dan Pendalian, yaitu: (badan agribisnis, jendral lingkup departemen pertanian,
balai informasi penyuluhan pertanian)
“pasal 17 : (1) Pengawasan dan Pengendalaian
dalam pelaksanaan kemitraan usaha di Tingkat Pusat ditetapkan sebagai berikut:
a.
Badan Agribsnis berfungsi melaksanakan analisis/pengkajian dan perumusan
kebijakan
pola
kemitraan yang dilakukan melalui kajian, atau menyelenggarakan pilot projek/proyek-proyek
percontohan bersama-sama Direktorat Jendral lingkup Departemen Pertanian dan
melaksanakan koordinasi monitoring evaluasi kemitraan.
b.
Direktorat Jendral Lingkup Departemen Pertanian berfungsi melaksanakan kegiatan
identfikasi, inventarisasi, implementasi, bimbingan, monitoring dan evaluasi
serta pengawasan kemitraan.
(2)
Kegiatan inventarisasi dan identifikasi, program pemberdayaan usaha kelembagaan
petani nelayan di daerah dilakukan oleh Balai Informasi Penyuluhan Pertanian,
Dinas lingkup Pertanian melalui koordinasi Kantor Wilayah Departemen Pertanian.
Pasal
18: Pemantauan perkembangan kemitraan usaha pertanan di daerah, dlakukan oleh
Balai Informasi Penyuluhan Pertanian, Dinas lingkup Pertanian secara periodik
yang dikoordinasikan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Pertanian dan
dlaporkan kepada Direktorat Jendral Wilayah lingkup Departemen Pertanian dengan
tembusan Badan Agribisnis”
Namun meskipun pembentukan
kelembagaan telah dilaksanakan permaslahan dalam kemitraan pertanian masih
terjadi. Mungkin banyak hal dan faktor yang harus dibenahi, diantaranya adalah:
1. Pengawasan
dan pembimbingan dari pemerintah terhadap kemitraan agribisnis yang adil dalam
pembuatan perjanjian meskipun membuat perjanjian merupakan kebebasan
masing-masing pihak, namun perlu ditinjau kembali apakah perjanjian tersebut
adil untuk semua pihak serta sesuai dengan undang-undang, keputusan, dan
ketetapan yang telah ada atau tidak. Jika tidak, lembaga yang memegang fungsi
pengawasan haruslah memberikan peringatan tegas kepada pihak yang melanggar.
2. Menetapkan
hukuman yang tegas dan disiplin terhadap pelanggaran hak kemitraan. Selama ini
persoalan pelanggaran terkadang tidak diselesaikan secara adil. Apalagi posisi
petani yang lemah dan cenderung menghindari konflik dengan perusahaan mitra.
Kemudian ketidakmampuan petani dalam mendapatkan haknya juga dianggap persoalan
biasa dan dimaklumi. Jika hal ini dibiarkan, keadilan dan kesejahteraan
terhadap petani tidak akan tercapai. Namun hal ini juga menjadi dilema. Banyak
kasus kemitraan disebabkan oleh pelanggaran petani terhadap perjanjian
disebabkan oleh perjanjian yang kurang berpihak pada petani.
3. Membangun
kesadaran yang tinggi terhadap prinsip kemitraan yang saling membangun dan
saling membesarkan. Perusahaan pengelola selaku pihak yang mempunyai kewenangan
penuh dalam menentukan isi perjanjian, hendaknya memperhatikan asas-asas hukum
baik asas umum dalam perjanjian maupun dalam perjanjian kemitraan pada
khususnya.
4. Memberikan
wawasan, pengajaran dan pengetahuan terkait kemitraan pertanian terhadap semua
pihak terutama petani oleh penyuluh pertanian. Tidak hanya itu melakukan fungsi
pendampingan dalam membantu pengambilan keputusan petani. Memberikan penilaian
pertimbangan-pertimbangan yang membantu petani.
Oleh : Monicha
Septya Harni
Staff Kajian
Strategis dan Advokasi BEM FEM IPB
0 komentar:
Posting Komentar
menerima kritik, saran, dan pertanyaan